Kamis, 06 Desember 2012

Momong Anak ke Taman Bungkul

Lama tidak menyambangi Taman Bungkul, akhir pekan beberapa waktu lalu saya menyempatkan mampir ke sana. Setelah hampir 2 tahun saya tidak mampir (kalau lewat sih seriiiing), saya dibuat kaget akan kondisi taman  di Jalan Raya Darmo Surabaya itu.     


Ada yang tambah bagus, dan banyak juga yang tambah jelek. Secara umum, saya bilang kondisinya jadi kotor sekali. Apa mungkin karena saya ke sananya hari Minggu. Minggu pagi kan  Taman Bungkul jadi pusat kegiatan Car Free Day. Jadi mungkin masih kotor belum sempat dibersihkan. Setelah keliling taman, saya hanya menjumpai dua petugas kebersihan yang sedang menyapu tidak dengan semangat 45.
Banyak sampah berserakan, pun daun-daun yang berguguran. Apalagi belum ada hujan, sehingga debu makin asik beterbangan. Lengkap sudah penderitaan L


 Padahal ada banyak tempat sampah lo
Fasilitas bermain anak pun sudah banyak yang rusak. Ya terang aja, orang-orang dewasa, bapak- ibu, kakek-nenek, mas-mbak, semua pada ikut bermain. Tidak ada petugas yang berjaga dan mengingatkan mereka. Rasa empati pengunjung dewasa pun tidak ada. Beberapa saya lihat justru anak-anak kecil antri menunggu orang tua yang sedang mainan jungkat-jungkit seperti ini.

Termasuk anak saya yang mau main ayunan tapi dipakai anak-anak seusia SMU, dan tidak pindah-pindah L
Saya hanya bisa membatin, yah, demikianlah potret masyarakat Indonesia.
Perubahan kedua adalah, banyak pedagang kaki lima! (Ini salah satu yang membuat arena taman jadi makin kotor dan semrawut, menurut saya)
Para pedagang tidak ditata dengan rapi, sehingga jadi tidak nyaman dipandang. Mulai yang jualan makanan khas Surabaya, Semanggi. Ada juga yang jualan lumpia yang dibiarkan terbuka sehingga bebas ditempeli debu. Kacang rebus, batagor, cilok, kripik telo, rujak manis, wah lengkap deh pokoknya. Yang jualan minum pun tak kalah serunya. Mulai kopi, es teh, aneka pop ice, teh botol, hingga beragam minuman bersoda.
Yang membuat saya surprise, saya menemukan penjual ngik-ngok (istilah saya, karena bunyinya ngiiiikk ngooookkk :D) di sini. Udah lama banget saya tidak menjumpai bapak-bapak penjual arum manis yang keliling kampung membawa ngik-ngok.


Ni dia si bapak penjual ngik-ngok, yang terakhir saya temui pas di bangku SD! Sayangnya terbawa arus modernisasi, bungkus arum manis pun sekarang plastik. Kalau dulu kan diapit di kertas minyak apa kertas roti ya yang warnanya putih itu. 
Seplastik (nggak penuh sih) arum manis di kantong plastik setengah kg, dihargai 5k. Masih lebih murah dibanding di konter-konter jajanan yang menjual arum manis modern diwadahi gelas air kemasan plastik.

Eh ada juga, persewaan mainan anak-anak kayak di mall. Ada beberapa penjual jasa semacam ini di Taman Bungkul. Anak saya pun tertarik mencicipi. Murah juga, 5k per 15 menit.


Perbedaan lagi, pengunjungnya sekarang buanyaaak banget. Rata-rata keluarga yang membawa anak kecil mereka. 
Kesimpulannya, Taman Bungkul itu bagus idenya. Memberikan alternatif tempat wisata kelaurga yang gratis bagi masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Kesejukan taman di tengah kota memberikan oase di tengah panasnya dan hiruk pikuk kota. Sayangnya, seperti sarana milik pemerintah yang lain, minim perawatan.  Mungkin masalah klasik, soal keterbatasan biaya dan SDM menjadi alasan utama. Ditambah pula, kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga dan merawat taman sangat minim.

Akhirnya, saya berangan-angan agar suatu saat, Taman Bungkul ini menjadi taman yang ideal. Bersih, terawat, tidak semrawut pedagang kaki lima, pengunjung tidak membuang sampah sembarangan, dan pengunjung dewasa tidak ikut mencicipi fasilitas permainan buat anak-anak.  Semoga.

1 komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...