Jumat, 05 Oktober 2012

PING! : Bacaan Ringan, tapi “Sesuatu”




Judul Buku   :   PING! : A Message from Borneo
Jenis Buku   :    Novel Remaja
Pengarang    :   Riawani Elyta dan Shabrina WS
Penerbit       :   Bentang Belia, Yogyakarta
Cetakan I    :    Maret 2012
Tebal           :    X 139 halaman
Harga          :    Rp 29.000            


Setiap membaca sebuah novel, saya selalu berharap menemukan sesuatu yang tak biasa. Sesuatu yang menjadi pembeda seperti saat saya membaca sebuah cerpen yang sekedar sebagai bacaan ringan. Sesuatu yang bisa menambah wawasan dan pengetahuan, sesuatu yang membuat suatu saat saya ingin membaca novel itu kembali. Itu saya temukan di novel ini. 

-----------------------------

“Buku ini dengan ringan sekaligus edukatif mengajak kita mengenal dunia orang utan dari perspektif yang unik. Di balik cerita yang mengalir, pembaca bisa jadi lebih peka pada isu lingkungan, isu terpenting masa ini.’’
Endorsment yang ditulis Dewi “Dee” Lestari, novelis favorit saya, cukup menyita perhatian. 



Tulisan di sampul buku itu, jujur, menarik saya untuk ingin membaca isi novel tersebut. Apalagi di pojok bawah ada keterangan bahwa novel ini adalah novel pemenang pertama lomba menulis novel yang diadakan salah satu penerbit yang cukup ternama, Bentang. Saya menjadi berekspektasi cukup tinggi untuk buku ini. Pasti ini bukan sekedar novel remaja biasa. Ada sesuatu yang berbeda yang ditawarkan di buku ini. 


Halaman pertama dibuka dengan cerita yang cukup memikat. Meski hanya dua lembar, racikan kata yang dipilih, membuat saya betah berlama-lama membaca bagian ini. Di bagian ini pula, pembaca belum dibuat sadar sepenuhnya bahwa itu cerita luka si Ping, tokoh utama yang seekor orang utan! Cukup surprised untuk halaman pembuka.  

Cerita selanjutnya soal Ping, semakin menarik. Pilihan diksi yang tepat, tidak berat tapi juga tidak biasa-biasa saja, bakal membuat pembaca bisa merasakan menjadi seekor orang utan. Apa yang dirasakan Ping benar-benar bisa seperti kita alami. Bagaimana lukanya hati Ping saat harus berpisah dengan ibunya (hal 16-18), bagaimana dia bersuka cita menemukan ibu baru (hal 43-46), hingga saat Ping harus merasakan kembali arti kehilangan seorang ibu (hal 49-50). Saya bukan penggemar cerita fabel, tapi di buku ini saya dibuat terpesona.



Tak berlebihan jika saya katakan, kekuatan novel ini lebih pada cerita fabelnya. Di sini, saya benar-benar mendapat 'sesuatu' yang berharga. Bahasanya mengalir, membuat saya bisa ikut merasakan getirnya menjadi orang utan. Deskripsi yang jelas soal kehidupan Ping, membuat saya bisa mengerti tentang hewan yang dilindungi ini. Apa dan bagaimana cara orang utan mencari makan (hal 24), bagaimana cara membuat sarang untuk tidur yang hanya untuk satu kali pakai (hal 20), hingga mengapa orang utan harus memakan sejumput tanah sebagai penawar racun (hal 45). Beberapa hal ini jelas menjadi tambahan pengetahuan tentang orang utan yang sulit dilupakan.




Salah satu bagian yang bisa menyeret saya ikut geram adalah saat membaca bagian ibu Ping dan Ping diburu pemburu liar demi lembaran rupiah (hal 66, 73). Membaca itu, saya langsung terbayang film ‘Goerge on The Jungle’, film Hollywood buatan tahun 1997, yang sudah sering diputar di layar kaca. Alhasil, saat membaca bagian ini saya serasa mendapat visualisasi yang pas.



Tiap bab dalam buku ini, adalah cerita bergantian soal Ping dan tokoh utama lain yang berbentuk manusia, Molly. Gadis penyayang binatang ini diceritakan sedang berpetualang ke Kalimantan dengan teman-teman ‘bule’-nya yang sedang mempunyai misi penelitian tentang orang utan, salah satu spesies langka yang ada di bumi Borneo. Ada bumbu romantisme khas remaja, di mana Archie, sahabat lama Molly, harus bertepuk sebelah tangan saat mengutarakan perasaannya pada Molly.

Di mata Molly, sikap Archie yang sekarang cenderung ‘bebas’, dianggapnya sebagai perubahan yang tidak sesuai dengan prinsipnya. Apalagi Archie juga dianggap tidak mendukung kecintaannya pada binatang, bahkan terasa menyepelekannya. Bahkan ditambah lagi, belakangan Molly juga tahu kalau ternyata Archie adalah anak ‘juragan’ sawit yang banyak membabat hutan di Kalimantan, dengan tidak mengindahkan kelangsungan hidup orang utan. Jelas, makin banyak alasan yang diperoleh Molly untuk ‘menolak’ Archie (hal 86-90).



Menurut saya, novel ini menyeruak menjadi salah satu yang berbeda, di tengah maraknya teenlit akhir-akhir ini. Sebagai novel remaja, buku ini tak hanya bercerita tentang romantisme belaka. Novel hasil kolaborasi dua penulis ini, menawarkan cerita ‘fabel’ yang biasanya banyak dijumpai di dongeng anak-anak. Tentu saja bahasa yang dipakai tidak se-’ringan’ pada cerita anak. Racikan kata yang diramu dua penulis yang tak lagi remaja ini, cukup renyah sehingga mudah dimengerti bagi pembaca usia remaja, sesuai segmen yang dibidik buku ini.

Di sisi lain, cerita tentang Molly, menurut saya cenderung biasa saja. Konfliknya terlalu datar, dan tidak cukup mengejutkan. Namun, cerita dari sisi manusia ini tentu saja tetap dibutuhkan. Ini membuat keseluruhan novel ini menjadi lebih hidup. Dua bagian cerita ini memang saling membutuhkan dan saling melengkapi.



Novel ini ditutup dengan happy ending. Sayangnya, cerita kebahagiaan ini sangat mudah ditebak, dan tidak terlalu istimewa. Molly sukses menjadi penulis dengan terbitnya novel fabelnya. Archie dibuat tersadar dengan membaca buku tulisan Molly. Bahkan Archie rela mendonasikan uang yang cukup besar untuk gerakan perlindungan orang utan di Kalimantan. Sementara Ping, kembali hidup bahagia di hutan bebas, setelah disembuhkan dari traumanya semasa di karantina di pusat konservasi.

Dari sisi fisik buku, menurut saya perwajahannya cukup menarik. Pilihan warnanya cerah sesuai dengan segmen remaja yang dibidik. Besar huruf dan spasi yang dipilih pas, sehingga enak dibaca bagi remaja. Ada tambahan gambar-gambar Ping di setiap lembarnya juga membuat semarak dan tak membosankan. Bentuk pembatas bukunya yang unik juga menjadi nilai tambah tersendiri.



Hanya ada satu yang agak kurang menurut saya, yakni soal harganya. Dengan tebal buku yang ‘hanya’ 139 halaman (dengan font yang lebih besar dari buku biasanya), harga jual Rp 29 ribu ‘sedikit’ kemahalan. Meski tetap menarik untuk dibaca ulang, buku yang bisa habis dibaca dengan minum hanya secangkir kopi ini, menjadi terlihat mahal. Apalagi bagi calon pembeli yang belum membaca resensi tentang buku ini. Andaikan harganya lebih murah, tentu makin banyak remaja yang rela menyisihkan uang sakunya untuk membeli buku ini. Juga makin banyak orang tua yang langsung menyetujui pilihan anak saat meminta dibelikan buku ini.    

Terlepas dari itu semua, jika Anda pembaca remaja, atau membutuhkan kado untuk si remaja, atau memerlukan bahan dongeng untuk balita, rasanya buku ini cukup tepat. Bagi remaja, buku ini akan membangunkan kesadaran mereka pada lingkungan sekitar. Bagi anda orang tua balita, bakal punya bahan cerita yang menarik untuk anak, sekaligus menyelipkan pesan moralnya.
Selamat membaca! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...