Rabu, 03 Oktober 2012

Nyaris...

Jam 8. Saatnya berangkat. Segera kujejalkan buku-buku yang berserakan di lantai kamar ke dalam tas. Hari ini adalah hari terakhir ujian semester. Mata kuliah yang menyenangkan, dan aku sudah cukup belajar tadi malam. Semoga sukses.

Kakiku melangkah keluar gerbang kos dengan penuh percaya diri. Selang beberapa rumah, aku harus melewati satu rumah yang selalu membuat hatiku berdesir. Rumah yang cukup asri, namun berpagar tinggi. Rumah yang selalu sepi, namun kutakuti. Apalagi bila ada dia di depan rumah itu. Ups, benar saja. Dia ada di sana. Entahlah apa yang dilakukannya di samping gerbang pagar yang sedikit terbuka.

Aku tak berani melihat. Jantungku sudah berdegup lebih cepat dari biasanya. Sesaat aku berhenti, mencoba mencari teman jalan. Tapi gang ini tampak sepi sekali. Tidak ada seorangpun yang lewat, pun tak ada orang yang ada di depan rumah. Di sepanjang gang yang hanya ada sekitar 16 rumah berhadap-hadapan ini, hanya ada aku dan dia. Ah!



Kutunggu sesaat, siapa tahu dia segera masuk ke dalam rumah. Aku berpura-pura mengecek isi tasku. Saat kuintip dari ekor mataku, ternyata dia masih setia di situ. Tidak ada tanda-tanda dia akan segera masuk ke dalam atau pergi meninggalkan rumah. Kulirik jam, 5 menit sudah berlalu. Aku harus tetap berjalan jika tidak mau terlambat.

Dengan hati-hati kuperhitungkan aku akan lewat di seberangnya. Aku akan pura-pura sibuk membalas sms agar aku tak perlu menyapanya. Aku akan berjalan pelan, namun mantap dan penuh percaya diri. Mulutku segera merapal beberapa doa yang kuhapal. Semoga aman.

Sambil komat-kamit, aku melangkah pelan. Dag dig dug jantungku bergemuruh tak karuan. Pandangan mataku kubuat senormal mungkin, seolah-olah aku tak melihat ada dia di situ. Padahal, ekor mataku tetap melirik sinis padanya. Saat jarak tinggal beberapa langkah mendekatinya, kulihat dia masih tenang-tenang saja. Bahkan dia sempat membalik posisi membelakangiku. Aku akan sukses melewatinya.

Tapi tiba-tiba, saat jarak tinggal empat langkah saja, dia berdiri dan langsung melihatku. Dia seperti mengamatiku dari ujung kepala hingga ke kaki. Penuh dengan perasaan kebencian, seperti memandang iri padaku. Seketika itu pula darahku terkesiap. Langkahku otomatis berhenti. Pandangan matanya serasa menelanjangiku. Aku seperti dikuliti hidup-hidup.

Dengan pongah dia menunjukkan kegarangannya. Posisinya benar-benar tepat di hadapanku. Kakinya menjejak dengan gagah, lehernya tersulur mendongak ke atas. Benar-benar mengintimidasiku. Ah, rupanya inilah akhir hidupku. Besok pagi fotoku akan terpampang di koran-koran lokal dengan baju yang tercabik-cabik. Tubuhku belepotan darah dan dagingku tampak keluar menembus kulit. Jika beruntung, nyawaku akan tertolong, meski dengan kondisi tubuh amat mengenaskan. Sungguh mengharukan. Sebaliknya, jika tidak ada seorang pun yang melihat kemudian, aku pasti tidak akan tertolong. Ibuku mungkin akan menangisi mengapa aku mati karena dia. Benar-benar menyedihkan.

Aku pun langsung teringat belum pernah sekalipun menulis surat wasiat. Akan dikemanakan tumpukan buku-buku usangku jika tidak ada lagi yang menyimpannya. Akan dikuberikan siapa puluhan surat-surat romantisku yang tak pernah kukirim ke seorangpun. Nasib beberapa koleksi sepatu bututku juga tidak akan bertuan. Mungkin ibuku akan mengumpulkannya dalam sebuah kardus dengan isak tangisnya yang masih tersisa. Membawanya pulang, dan membiarkannya berada di sudut rumah. Selang beberapa waktu kemudian kardus itu akan berpindah ke tempat sampah! Ah semakin merana nasibku.


Aku diam membisu. Tak sedikit pun badanku bergerak. Kakiku seperti menancap di bumi. Entahlah, apa saat itu wajahku sudah amat pucat pasi seperti mayat. Namun kulihat dia juga tak bergeser seincipun dari tempatnya. Sikapnya tetap pongah, serasa ingin menelan aku bulat-bulat. Aku sudah pasrah. Aku menyerah. Meski tanpa sedikitpun perlawanan. Mataku makin berkunang-kunang, badanku sudah serasa melayang. Rasanya mau pingsan.

“Billy!” tiba-tiba suara nyaring terdengar dari pintu rumah itu. Sepersekian detik dia melaju pesat masuk ke rumah. Aku masih diam mematung. Pintu pagar tinggi itu berdecit ditutup si empunya rumah. Rupanya aku selamat. Aku tak jadi menu istimewa anjing pagi itu. Aku tak jadi korban kebrutalan anjing. Ah leganya....

seperti ini nih tampang si dia. gimana nggak ngeper? oiya, gambar asli dari sini 

5 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Mungkin kalo aq ketakutan ketemu guk guk.kabuuuuur....
    salam kenal. mampir yuuk n follower juga, www.nurulhabeeba.blogspot.com

    BalasHapus
  3. salam kenal juga mbak nurul. okeh, aku segera meluncur ke rumah maya mbak :)

    BalasHapus
  4. huwaa...mulanya aku nebak, ini seseorang yang bikin mbak berdebar karena suka. trus menduga lagi, ini ketemu sama musuh mbak...eh ketika baca lehernya tersulur, aku langsung menduga ini pasti guguk, aih...benar, guguknya sereeem, aku juga takuut ah...lariiiii....:D

    BalasHapus
  5. Hihihi ... kadung dikira siapa, tibake si Blacky , hihi ..


    Saya takut juga sama anjing, pernah dikejar beberapa kali, huhu ..

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...