Minggu, 30 September 2012

Kuantar Ayah Pulang ....

Tiga tahun yang lalu...
Hari ini adalah hari terberat untukku,
Hari aku harus berpisah dengan ayah untuk selamanya
Hari ini hari terakhir, dalam tiga hari berjuang, yang sangat, sangat terasa singkat!

Hari ketiga.....
30 September 2009

Tidur malam di rumah, cukup memulihkan tenagaku. Rencanaku, pagi itu kami semua termasuk anak-anak akan berangkat bersama ke rumah sakit. Aku pun mulai siap-siap. Menyiapkan baju ganti anak-anak, susu dan diapers. Sambil bersiap, aku pun menyuapi anak-anak makan biar cepat selesai.

Tapi tiba-tiba....



Sebelum pukul 7 pagi, Amik menelpon ke rumah. 
“Mbak wes berangkat?”
“Durung. Iki lagi maem. Bar adus berangkat mrono sisan karo arek-arek,” jawabku.
“Wes ra sah adus. Ndang mreneo dewe ae, saiki,” kata Amik tegas namun dengan nada galau luar biasa.
Aku bisa menangkap itu.

Akhirnya dengan pertimbangan lebih cepat, aku naik motor sama Dea (anak pertama Mbak Emma) ke RS. 
Sepanjang perjalanan, terlihat Dea sibuk mengangkat telpon dari Amik. Aku serius melihat jalan yang padat luar biasa pagi itu. Maklum jam-jam berangkat sekolah dan kerja. “Iya udah ngebut ini, jalannya macet,” teriak Dea menjawab telepon. Hatiku pun mulai tak karuan.

Sesampai RS, aku dan Dea terus berlari. Jarak parkir motor ke lobby yang cukup jauh dan jalan menanjak membuat aku ngos-ngosan. Memasuki ruang ICU dengan nafas naik turun, aku disambut Risda. Langsung menuju tempat tidur ayah, Risda sempat berbisik, “Sudah waktunya mbak. Kita hanya bisa mendampingi dengan doa.” Lemas sudah.

Di samping ayah, ada ibu dan Mbak Er (adik ibu) dan Riris, anaknya, yang khusuk membaca Yasin. Di seberangnya Risda, Dea, aku dan Amik mengikuti bacaan Yasin. Di ujung kepala ayah, ada Mbak Emma yang terus membisikkan syahadat dan kalimat tauhid ke telinga ayah sambil mengusap kepalanya. Isak tangis lirih terus bergantian  dengan lantunan ayat suci. 
Saat itu ayah tetap tidak sadar. Sejak dipasang ventilator kemarin, ayah memang dibuat tidak sadar. Setelah itu, praktis tidak ada komunikasi lagi dengan ayah. TD (tekanan darah) sudah tinggal 60. Angka saturasi oksigennya naik turun, sempat tercatat hanya 40. 
Air mata pun terus kutahan agar tidak semakin membanjir. Risda terus mengikuti yasin sambil memantau angka-angka di layar monitor. Aku yang buta soal medis hanya mampu terus berdoa.

Tiba-tiba...
“Maaf bu, kami periksa dulu,” ucap suster dengan nada lirih dan hati-hati, sangat mengerti kondisi kami. TD ayah terus menurun tinggal 40, dan saturasi hanya 10%.

Kami pun menyingkir sambil berpelukan.
Tangis pun tak tertahankan lagi.
Semua terduduk bersimpuh di lantai.
Lemas.

Beberapa perawat sigap melakukan pijat jantung.  Suster yang lain berlari memanggil dokter. Ketegangan luar biasa menyeruak di ruangan. Akhirnya dokter memutuskan memasang alat pacu jantung. Beberapa kali alat tersebut digunakan. Mesin-mesin di sekitar tempat tidur mengeluarkan bunyi-bunyian yang tak kumengerti. Sampai akhirnya indikator oksigen turun sampai angka nol, dan suara tiiiiittt panjang bunyi dari layar monitor. Garis lurus. 
“Maaf, Bapak sudah meninggal,” kata dokter.

Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun ...........

Sepertinya, ayah hanya 'menungguku' untuk pulang kepada-Nya.

Dokter dan perawat mulai menyingkirkan semua peralatan. Kami semua terdiam di sekitar ayah. 
Ibu memeluk ayah erat tanpa bisa berkata. Tangis ibu tidak pecah, hanya terdengar lirih isaknya. Sungguh, ibu yang hebat. Tegar dan menunjukkan keikhlasannya.
Amik, yang selalu kulihat tegar selama ayah sakit ini, tak dapat membendung air matanya.
Aku hanya bisa lemas bersender di bahu Amik.
Kupegang kaki ayah yang dingin.
Kupegang tangannya dan kucium tangannya.
Kami menangis.
Kami telah kehilangan ayah tercinta.
Kami terus mengikhlaskan diri akan kepergian ayah.

Kullu nafsin dzaa iqatul maut…. 
"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati" (QS. Ali Imran [3]: 185)

***
Ayah... oh ayah...
Terasa singkat hari-hari bahagia kami bersama ayah.
Terasa cepat kami mendampingi perjuangan ayah dalam sakitnya ini.
Kami belum banyak membantu, kami belum banyak berbuat.
Tapi Allah sangat sayang ayah.
Tak dibiarkan-Nya ayah merasakan sakit.
Allah juga sangat sayang kepada kami semua.
Tak sedikitpun kami diizinkan lelah merawat ayah.
Tak dibiarkan kami merasakan repot dengan kondisi ayah.
Alhamdulillah... Allah memberikan yang terbaik bagi kami semua.
Kami ikhlas...
***

Aku berdiri mendekati ibu. Kurangkul ibu. Mbak bergabung. Amik ikut memeluk. Kami terisak bersama. “Ikhlas nduk. Ikhlasno.” Beberapa saat kemudian suster mendekat. Memberi tau kami akan segera mengurus jenazah. Kami pun menyingkir dengan langkah gontai. Hanya ibu dan mbak Emma yang tinggal ruang ICU. Aku, Amik, Risda, dan yang lain agak menyingkir ke pinggir. 

Kesadaran mulai pulih. Kami segera menelpon keluarga mengabarkan hal ini. Keluarga di Bojonegoro, Blitar, Sidoarjo. Kami pun mulai berkoordinasi untuk kembali pulang ke Blitar, mengurus pemakaman.  
Mbak Endah (tetangga dan kolega ayah ibu di kantor) tak putus berkoordinasi denganku soal kepulangan jenazah ayah. Beliau pula yang menginformasikan perkembangan kepada tetangga dan teman-teman di Blitar yang membantu tanpa pamrih. Sungguh aku semakin terharu, banyak orang di sekitar kami yang sangat menyayangi kami. Meski ayah sudah pensiun, banyak temannya yang dengan ikhlas membantu apapun demi kelancaran acara pemakaman.

Menjelang tengah hari jenazah sudah selesai dibersihkan. Keluarga dari Bojonegoro sudah kembali berkumpul di Surabaya. Kakak-kakak iparku yang ada di Surabaya juga sudah ada semua. Ambulans sudah disiapkan. Sayangnya, kami tidak bisa segera meninggalkan RS. Kami harus ikut prosedur rumah sakit yang memang tidak sederhana. Bahkan kami sempat bersitegang dengan bagian administrasi rumah sakit, agar jenazah bisa sesegera mungkin dibawa pulang, mengingat jarak Surabaya-Blitar tidaklah dekat. Sementara keluarga yang lain bisa membereskan urusan di rumah sakit. Sayangnya, informasi pihak admin yang katanya sebentar lagi, terasa sangat lama bagi kami. Akhirnya Risda lah yang turun tangan memangkas urusan birokratif ini.    

Lewat pukul dua siang, ambulans bau keluar dari rumah sakit. Ibu, Amik, Risda, Lek Pip, ikut dalam ambulans. Keluarga lain mengikuti di belakang dengan beberapa mobil. 
Sebelumnya aku sudah mengontak suami di rumah, untuk langsung pulang ke Blitar dari Sidoarjo. Anak-anak kembali harus berjibaku dalam perjalanan. Untung saja saat itu, teman baikku, Endang, menawarkan mobilnya untuk dibawa suami ke Blitar. Jadi tidak perlu repot lagi mengontak rental mobil yang baru saja dikembalikan kemarin. Makasih Ndang.

-------------------
Perjalanan terasa lama. Kemacetan Surabaya siang itu amat sangat sulit ditaklukkan. Akhirnya rombongan kami terpisah. Ambulans melaju duluan. Beberapa mobil keluarga juga terpisah.
Aku, mbak Emma sekeluarga yang berada satu mobil, mencoba mencairkan suasana dengan bercerita yang lucu-lucu. Kami berusaha tak membahas kepergian ayah untuk mengurangi kegetiran hati. Diselingi dzikir dan doa yang terus terpanjat, perjalanan pulang ini sangatlah terasa berat.


***
Masih segar dalam ingatanku. Hari lebaran ketiga –tak sampai seminggu lalu-, kami sekeluarga pergi ke Malang. Mengisi liburan lebaran itu, entah kenapa, kami ingin melewatkan waktu bersama di luar rumah. Padahal biasanya, tak pernah sekalipun kami rekreasi saat liburan lebaran. Kami disibukkan dengan acara silaturahmi ke famili dan tetangga.

Siang itu, kami menghabiskan waktu dengan makan siang bersama di Bambu, Batu, Malang. Antrian yang lama tak menyurutkan kami.
Melihat anak-anak tertawa saat bercanda dengan ikan-ikan adalah sebuah kebahagiaan.
Merasakan kebersamaan seperti saat itu adalah kepuasan yang tidak terlukiskan.
Tidak ada yang aneh dengan kondisi ayah. Ayah cukup sehat. Ayah memang tidak seperti biasanya, lebih banyak diam. Tapi saat itu kami mengira ayah hanya kelelahan. Karena kesibukan menjelang lebaran cukup menyita waktu ayah.
***


Belakangan ibu bercerita, Ramadhan itu ayah memang sangat luar biasa. Hari-harinya banyak dihabiskan di masjid, dari satu pengajian ke pengajian lain. Ayah hanya pulang ke rumah untuk mandi, buka puasa dan istirahat siang seperlunya. Setiap malam ayah tak absen untuk i’tikaf di masjid.
Ah ayah... Maafkan aku.
Aku tak ada bersama ayah saat itu.
Aku tak bisa di samping ayah saat hari-hari terakhir itu.


***
Selepas dari Bambu, kami bahkan sempat mampir ke BNS (Batu Night Square). Ayah terlihat cukup sabar mengawal cucu-cucunya mencoba berbagai permainan. Bahkan ayah pula yang membawakan tas susu Acel (anak bungsuku yang masih umur 1 tahun). Ayah juga yang menemani Neo dan Zico bermain gokart, saat aku harus memangku Acel yang tertidur. Duh ayah....

Aku masih ingat. Saat masuk ke area lampion, aku sempat bergelayut manja di tangan ayah. Ayah juga memelukku. Kami berbicara soal lansekap taman yang bagus. Ayah memang menaruh perhatian besar pada taman. Hari-hari pensiun ayah diisi dengan menata taman yang cukup luas di rumah. Ayah juga membantu ibu mengurusi taman di sekolah ibu.
“Itu bagus Yah. Coba dikasih lampu gitu di taman,” usulku.
“He eh. Tapi ayah selesaikan kolam ikan koi dulu. Itu belum rapi. Nanti kalau ikan-ikannya sudah besar, Neo, Zico, Fio, lak seneng,” jawab ayah. Oh ayah......
***


-------------------------------

Blitar lagi.

Tak terasa perjalanan sudah berakhir. Maghrib kami baru sampai rumah. Di mulut gang, tampak mobil pelayat berjejer. Banyak orang yang membantu mengatur lalu lintas dan kendaraan pelayat. Memasuki gerbang rumah ratusan pelayat masih setia menunggu. Jenazah sudah selesai dimandikan, siap dikafani. Aku pun segera membersihkan diri dan mengambil air wudhu.
Hari mulai beranjak malam, kami segera bersiap mengantar ayah ke peristirahatan terakhirnya.

Selamat jalan ayah.
Kami hanya mampu mengiringi kepergian dengan doa.
Sebenarnya, kami masih ingin lebih lama hidup bersama ayah.
Masih sedikit sekali yang bisa kulakukan untuk ayah.
Aku masih belum bisa membalas semua kebaikan ayah.
Aku masih belum bisa melakukan semua yang ayah inginkan.
Aku masih belum bisa mewujudkan cita-cita ayah.
Aku belum bisa menjadi anak yang membanggakan.

Ayah, maafkan aku.
Hanya doa yang bisa aku panjatkan.
Semoga ayah mendapat tempat terbaik di sisi Allah.
Semoga Allah menerima semua kebajikan ayah saat di dunia.
Semoga Allah memaafkan semua khilaf dan salah ayah di dunia.
Allahummaghfirli waliwalidayya warkhamhuma kamaa rabbayani saghira

Ayah, we do love you....
And we miss you, forever....         

2 komentar:

  1. kisah yang cukup mengharu biru mbak, tapi bersyukur bisa dampingi ayah sampe usia cukup dewasa. saya sudah ditinggal ayah sejak usia 7 tahun, tertatih sungguh untuk mengingatnya kembali

    BalasHapus
  2. kisahnya memang mengharu biru..niy kisah nyata kan mbak? jd inget waktu ibuku pulang menghadapNya...yang paling menyedihkan, saya menjadi salah stu anak yang gak bisa ikut mengantarnya pulang...kebetulan posisi surabaya-tegal yang harus ditempuh perjalanan darat 12 jam paling cepet..tetep saja tak bisa mengejar ketertinggalanku..nyampe rumah, ibu sudah tenang di alamnya yang baru. tapi, tenang saja mbak...meski kita sudah terpisahkan dengan ayah atau ibu karena alam yang berbeda...insya allah kita masih tetep bisa berbakti kepadanya kan? dengan berusaha menjadi anaknya yang sholehah...insya allah kita masih terhubung dengan ayah atau ibu kita lewat doa. " Allahummagfirlaha(hu) warhamha(hu) wa'fuanha(hu) " semoga kita kelak tetap dipersatukan dengan ayah dan ibu kita di syurga ya mbak...amin

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...