Hari ini adalah hari terberat untukku,
Hari aku harus berpisah dengan ayah untuk selamanya
Hari ini hari terakhir, dalam tiga hari berjuang, yang sangat, sangat terasa singkat!
Hari ketiga.....
30 September 2009
Tidur malam di rumah, cukup memulihkan
tenagaku. Rencanaku, pagi itu kami semua termasuk anak-anak akan berangkat
bersama ke rumah sakit. Aku pun mulai siap-siap. Menyiapkan baju ganti
anak-anak, susu dan diapers. Sambil bersiap, aku pun menyuapi anak-anak makan
biar cepat selesai.
Tapi tiba-tiba....
Sebelum pukul 7 pagi, Amik menelpon ke rumah.
“Mbak wes berangkat?”
“Durung. Iki lagi maem. Bar adus berangkat
mrono sisan karo arek-arek,” jawabku.
“Wes ra sah adus. Ndang mreneo dewe ae,
saiki,” kata Amik tegas namun dengan nada galau luar biasa.
Aku bisa menangkap itu.
Akhirnya dengan pertimbangan lebih cepat, aku naik motor sama Dea (anak pertama Mbak Emma) ke RS.
Akhirnya dengan pertimbangan lebih cepat, aku naik motor sama Dea (anak pertama Mbak Emma) ke RS.
Sepanjang perjalanan, terlihat Dea sibuk
mengangkat telpon dari Amik. Aku serius melihat jalan yang padat luar biasa pagi
itu. Maklum jam-jam berangkat sekolah dan kerja. “Iya udah ngebut ini, jalannya
macet,” teriak Dea menjawab telepon. Hatiku pun mulai tak karuan.
Sesampai RS, aku dan Dea terus berlari. Jarak
parkir motor ke lobby yang cukup jauh dan jalan menanjak membuat aku
ngos-ngosan. Memasuki ruang ICU dengan nafas naik turun, aku disambut Risda.
Langsung menuju tempat tidur ayah, Risda sempat berbisik, “Sudah waktunya mbak.
Kita hanya bisa mendampingi dengan doa.” Lemas sudah.
Di samping ayah, ada ibu dan Mbak Er (adik ibu) dan Riris, anaknya, yang khusuk membaca Yasin. Di seberangnya Risda, Dea, aku dan Amik mengikuti bacaan Yasin. Di ujung kepala ayah, ada Mbak Emma yang terus membisikkan syahadat dan kalimat tauhid ke telinga ayah sambil mengusap kepalanya. Isak tangis lirih terus bergantian dengan lantunan ayat suci.
Saat itu
ayah tetap tidak sadar. Sejak dipasang ventilator kemarin, ayah memang dibuat
tidak sadar. Setelah itu, praktis tidak ada komunikasi lagi dengan ayah. TD
(tekanan darah) sudah tinggal 60. Angka saturasi oksigennya naik turun, sempat tercatat hanya 40.
Air mata pun
terus kutahan agar tidak semakin membanjir. Risda terus mengikuti yasin sambil
memantau angka-angka di layar monitor. Aku yang buta soal medis hanya mampu
terus berdoa.
Tiba-tiba...
“Maaf bu,
kami periksa dulu,” ucap suster dengan nada lirih dan hati-hati, sangat
mengerti kondisi kami. TD ayah terus menurun tinggal 40, dan saturasi hanya 10%.
Kami pun
menyingkir sambil berpelukan.
Tangis pun
tak tertahankan lagi.
Semua
terduduk bersimpuh di lantai.
Lemas.
Beberapa
perawat sigap melakukan pijat jantung.
Suster yang lain berlari memanggil
dokter. Ketegangan luar biasa menyeruak di ruangan.
Akhirnya dokter memutuskan memasang alat pacu jantung. Beberapa kali alat tersebut
digunakan. Mesin-mesin di sekitar tempat tidur mengeluarkan bunyi-bunyian yang
tak kumengerti. Sampai akhirnya indikator oksigen turun sampai angka nol, dan suara tiiiiittt panjang bunyi dari layar monitor. Garis lurus.
“Maaf, Bapak
sudah meninggal,” kata dokter.
Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun ...........
Sepertinya, ayah hanya 'menungguku' untuk pulang kepada-Nya.
Dokter dan perawat mulai menyingkirkan semua peralatan. Kami semua terdiam di sekitar ayah.
Ibu memeluk
ayah erat tanpa bisa berkata. Tangis ibu tidak pecah, hanya terdengar lirih
isaknya. Sungguh, ibu yang hebat. Tegar dan menunjukkan keikhlasannya.
Amik, yang
selalu kulihat tegar selama ayah sakit ini, tak dapat membendung air matanya.
Aku hanya
bisa lemas bersender di bahu Amik.
Kupegang
kaki ayah yang dingin.
Kupegang
tangannya dan kucium tangannya.
Kami
menangis.
Kami telah
kehilangan ayah tercinta.
Kami terus
mengikhlaskan diri akan kepergian ayah.
Kullu nafsin dzaa iqatul maut….
"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati" (QS. Ali Imran [3]: 185)
***
Ayah... oh
ayah...
Terasa
singkat hari-hari bahagia kami bersama ayah.
Terasa cepat
kami mendampingi perjuangan ayah dalam sakitnya ini.
Kami belum
banyak membantu, kami belum banyak berbuat.
Tapi Allah
sangat sayang ayah.
Tak
dibiarkan-Nya ayah merasakan sakit.
Allah juga
sangat sayang kepada kami semua.
Tak
sedikitpun kami diizinkan lelah merawat ayah.
Tak
dibiarkan kami merasakan repot dengan kondisi ayah.
Alhamdulillah...
Allah memberikan yang terbaik bagi kami semua.
Kami
ikhlas...
***
Aku berdiri mendekati ibu. Kurangkul ibu. Mbak bergabung. Amik ikut memeluk. Kami terisak bersama. “Ikhlas nduk. Ikhlasno.” Beberapa saat kemudian suster mendekat. Memberi tau kami akan segera mengurus jenazah. Kami pun menyingkir dengan langkah gontai. Hanya ibu dan mbak Emma yang tinggal ruang ICU. Aku, Amik, Risda, dan yang lain agak menyingkir ke pinggir.
Aku berdiri mendekati ibu. Kurangkul ibu. Mbak bergabung. Amik ikut memeluk. Kami terisak bersama. “Ikhlas nduk. Ikhlasno.” Beberapa saat kemudian suster mendekat. Memberi tau kami akan segera mengurus jenazah. Kami pun menyingkir dengan langkah gontai. Hanya ibu dan mbak Emma yang tinggal ruang ICU. Aku, Amik, Risda, dan yang lain agak menyingkir ke pinggir.
Kesadaran
mulai pulih. Kami segera menelpon keluarga mengabarkan hal ini. Keluarga di
Bojonegoro, Blitar, Sidoarjo. Kami pun mulai berkoordinasi untuk kembali pulang
ke Blitar, mengurus pemakaman.
Mbak Endah
(tetangga dan kolega ayah ibu di kantor) tak putus berkoordinasi denganku soal
kepulangan jenazah ayah. Beliau pula yang menginformasikan perkembangan kepada
tetangga dan teman-teman di Blitar yang membantu tanpa pamrih. Sungguh aku
semakin terharu, banyak orang di sekitar kami yang sangat menyayangi kami.
Meski ayah sudah pensiun, banyak temannya yang dengan ikhlas membantu apapun
demi kelancaran acara pemakaman.
Menjelang
tengah hari jenazah sudah selesai dibersihkan. Keluarga dari Bojonegoro sudah
kembali berkumpul di Surabaya. Kakak-kakak iparku yang ada di Surabaya juga
sudah ada semua. Ambulans sudah disiapkan. Sayangnya, kami tidak bisa segera meninggalkan RS. Kami harus ikut prosedur
rumah sakit yang memang tidak sederhana. Bahkan kami sempat bersitegang dengan bagian administrasi rumah sakit, agar jenazah bisa sesegera mungkin dibawa pulang, mengingat jarak Surabaya-Blitar tidaklah dekat. Sementara keluarga yang lain bisa membereskan urusan di rumah sakit. Sayangnya, informasi pihak admin yang katanya sebentar lagi, terasa sangat lama bagi kami. Akhirnya Risda lah yang turun tangan memangkas urusan birokratif ini.
Lewat pukul dua siang, ambulans bau keluar dari rumah sakit. Ibu, Amik, Risda, Lek Pip, ikut dalam ambulans.
Keluarga lain mengikuti di belakang dengan beberapa mobil.
Sebelumnya
aku sudah mengontak suami di rumah, untuk langsung pulang ke Blitar dari Sidoarjo.
Anak-anak kembali harus berjibaku dalam perjalanan. Untung saja saat itu, teman
baikku, Endang, menawarkan mobilnya untuk dibawa suami ke Blitar. Jadi tidak
perlu repot lagi mengontak rental mobil yang baru saja dikembalikan kemarin.
Makasih Ndang.
-------------------
Perjalanan
terasa lama. Kemacetan Surabaya siang itu amat sangat sulit ditaklukkan.
Akhirnya rombongan kami terpisah. Ambulans melaju duluan. Beberapa mobil
keluarga juga terpisah.
Aku, mbak
Emma sekeluarga yang berada satu mobil, mencoba mencairkan suasana dengan
bercerita yang lucu-lucu. Kami berusaha tak membahas kepergian ayah untuk
mengurangi kegetiran hati. Diselingi dzikir dan doa yang terus terpanjat,
perjalanan pulang ini sangatlah terasa berat.
***
Masih segar
dalam ingatanku. Hari lebaran ketiga –tak sampai seminggu lalu-, kami
sekeluarga pergi ke Malang. Mengisi liburan lebaran itu, entah kenapa, kami
ingin melewatkan waktu bersama di luar rumah. Padahal biasanya, tak pernah
sekalipun kami rekreasi saat liburan lebaran. Kami disibukkan dengan acara
silaturahmi ke famili dan tetangga.
Siang itu,
kami menghabiskan waktu dengan makan siang bersama di Bambu, Batu, Malang.
Antrian yang lama tak menyurutkan kami.
Melihat
anak-anak tertawa saat bercanda dengan ikan-ikan adalah sebuah kebahagiaan.
Merasakan
kebersamaan seperti saat itu adalah kepuasan yang tidak terlukiskan.
Tidak ada
yang aneh dengan kondisi ayah. Ayah cukup sehat. Ayah memang tidak seperti
biasanya, lebih banyak diam. Tapi saat itu kami mengira ayah hanya kelelahan.
Karena kesibukan menjelang lebaran cukup menyita waktu ayah.
***
Belakangan
ibu bercerita, Ramadhan itu ayah memang sangat luar biasa. Hari-harinya banyak
dihabiskan di masjid, dari satu pengajian ke pengajian lain. Ayah hanya pulang
ke rumah untuk mandi, buka puasa dan istirahat siang seperlunya. Setiap malam
ayah tak absen untuk i’tikaf di masjid.
Ah ayah...
Maafkan aku.
Aku tak ada
bersama ayah saat itu.
Aku tak bisa
di samping ayah saat hari-hari terakhir itu.
***
Selepas dari
Bambu, kami bahkan sempat mampir ke BNS (Batu Night Square). Ayah terlihat
cukup sabar mengawal cucu-cucunya mencoba berbagai permainan. Bahkan ayah pula
yang membawakan tas susu Acel (anak bungsuku yang masih umur 1 tahun). Ayah
juga yang menemani Neo dan Zico bermain gokart, saat aku harus memangku Acel
yang tertidur. Duh ayah....
Aku masih
ingat. Saat masuk ke area lampion, aku sempat bergelayut manja di tangan ayah.
Ayah juga memelukku. Kami berbicara soal lansekap taman yang bagus. Ayah memang
menaruh perhatian besar pada taman. Hari-hari pensiun ayah diisi dengan menata
taman yang cukup luas di rumah. Ayah juga membantu ibu mengurusi taman di
sekolah ibu.
“Itu bagus Yah.
Coba dikasih lampu gitu di taman,” usulku.
“He eh. Tapi
ayah selesaikan kolam ikan koi dulu. Itu belum rapi. Nanti kalau ikan-ikannya
sudah besar, Neo, Zico, Fio, lak seneng,” jawab ayah. Oh ayah......
***
-------------------------------
Blitar lagi.
Tak terasa
perjalanan sudah berakhir. Maghrib kami baru sampai rumah. Di mulut gang,
tampak mobil pelayat berjejer. Banyak orang yang membantu mengatur lalu lintas
dan kendaraan pelayat. Memasuki gerbang rumah ratusan pelayat masih setia
menunggu. Jenazah sudah selesai dimandikan, siap dikafani. Aku pun segera
membersihkan diri dan mengambil air wudhu.
Hari mulai
beranjak malam, kami segera bersiap mengantar ayah ke peristirahatan
terakhirnya.
Selamat
jalan ayah.
Kami hanya
mampu mengiringi kepergian dengan doa.
Sebenarnya,
kami masih ingin lebih lama hidup bersama ayah.
Masih
sedikit sekali yang bisa kulakukan untuk ayah.
Aku masih
belum bisa membalas semua kebaikan ayah.
Aku masih
belum bisa melakukan semua yang ayah inginkan.
Aku masih
belum bisa mewujudkan cita-cita ayah.
Aku belum
bisa menjadi anak yang membanggakan.
Ayah,
maafkan aku.
Hanya doa
yang bisa aku panjatkan.
Semoga ayah
mendapat tempat terbaik di sisi Allah.
Semoga Allah
menerima semua kebajikan ayah saat di dunia.
Semoga Allah
memaafkan semua khilaf dan salah ayah di dunia.
Allahummaghfirli waliwalidayya warkhamhuma kamaa rabbayani saghira
Ayah, we do
love you....
And we miss
you, forever....
kisah yang cukup mengharu biru mbak, tapi bersyukur bisa dampingi ayah sampe usia cukup dewasa. saya sudah ditinggal ayah sejak usia 7 tahun, tertatih sungguh untuk mengingatnya kembali
BalasHapuskisahnya memang mengharu biru..niy kisah nyata kan mbak? jd inget waktu ibuku pulang menghadapNya...yang paling menyedihkan, saya menjadi salah stu anak yang gak bisa ikut mengantarnya pulang...kebetulan posisi surabaya-tegal yang harus ditempuh perjalanan darat 12 jam paling cepet..tetep saja tak bisa mengejar ketertinggalanku..nyampe rumah, ibu sudah tenang di alamnya yang baru. tapi, tenang saja mbak...meski kita sudah terpisahkan dengan ayah atau ibu karena alam yang berbeda...insya allah kita masih tetep bisa berbakti kepadanya kan? dengan berusaha menjadi anaknya yang sholehah...insya allah kita masih terhubung dengan ayah atau ibu kita lewat doa. " Allahummagfirlaha(hu) warhamha(hu) wa'fuanha(hu) " semoga kita kelak tetap dipersatukan dengan ayah dan ibu kita di syurga ya mbak...amin
BalasHapus