Sabtu, 29 September 2012

Maaf Ayah, Aku Menangis

Hari kedua, 29 September 2009.....

Sempat tertidur, aku terbangun sudah di jalan tol. Dalam kegelapan malam, aku mencoba melihat posisi saat itu. Ternyata baru saja melewati pintu tol wonokromo. Aku yang berada di iringan mobil paling belakang mulai gelisah. “Lo kok lewat sini? Bukannya rumah sakit Husada Utama yang di seberang Dr Soetomo?”
Saat itu posisi mobil sudah akan menuju tol Satelit. “Kita harus keluar di sini.” Cepat kuhubungi mobil yang ada di depan, kami pun keluar tol satelit. Eh keluar pintu tol pun mobil depan keliru ambil jalan terus ke HR Muhammad, dan akhirnya harus putar balik. Rasanya hati ini sudah tidak karuan. Kok sempat-sempatnya salah jalur pisan... Sabar....

Sesampai di RS Husada Utama kami langsung menuju UGD. Adik sepupuku, Risda (anak Lek Pip), yang bekerja sebagai apoteker di RS Mitra Keluarga, sudah ada di sana.
Rupanya ambulans malah belum datang. Pikiran kami pun sontak ruwet nggak karuan. Kok bisa? Seharusnya ambulans kan lebih cepat. Apalagi kami ada acara kesasar dulu. Uh rasanya nyesek di dada.
Aku pun kembali beristighfar. Astaghfirullah al adzim.....



Risda pun sigap mengurus segala sesuatu di rumah sakit itu. Ternyata pihak RS tidak tahu jika akan ada rujukan pasien dari Blitar. Tak kalah heran, Risda segera mengambil alih kondisi. Kami rombongan dari Blitar sudah tak mampu berfikir jernih. Untung saja Risda bekerja di rumah sakit, sehingga sedikit banyak tahu prosedurnya. Pihak RS pun cukup banyak membantu. Telepon sana-sini mencari dokter terbaik yang bisa dihubungi. Melaporkan kondisi pasien terkini. Sungguh kesibukan yang menegangkan di pagi buta itu.

-----------------

Tak lama kemudian ambulans datang.
Kami, keluarga, minggir untuk memberikan ruang bagi tenaga medis untuk bertindak. Ada dokter jaga dan beberapa perawat yang cukup sigap. Mereka terlihat sibuk berkoordinasi dan bertukar informasi dengan Ais dan Risda. Sementara perawat dari RS Blitar yang ikut di ambulans tak bisa memberikan informasi yang berarti.
Rupanya, perawat yang ikut itu bukan perawat yang tau persis kondisi pasien. Huffft, bikin gemas. Saat itu, terasa sekali beruntungnya mempunyai keluarga yang bekerja di bidang kesehatan. Ada Ais yang dokter, dan Risda yang apoteker. Terima kasih ya Ais, Risda, Allah yang akan membalas keikhlasan kalian....


Belakangan aku baru tau dari cerita Ais, memang banyak kejadian ‘luar biasa’ yang terjadi di ambulans selama perjalanan ke Surabaya (akan kutulis nanti). Dan itu terjadi karena kekurang-profesionalan pihak RS di Blitar. Namun sengaja Ais hanya mengabarkan kondisi yang baik agar kami, keluarga yang lain tidak panik. Sementara hanya dia yang sangat tegang di detik-detik perjalanan ambulans. Karena kondisi itu, mungkin hanya dua-tiga sms saja kabar dari Ais. Dia hanya sempat sms di awal perjalanan, jika kondisi ayah cukup baik dan ibu terus mengaji di sisi ayah selama di perjalanan.


Setelah selesai proses pemindahan pasien dari ambulans ke kamar di UGD, keluarga dibolehkan berada dekat pasien, sambil menunggu dokter datang. Kami pun sempat memijit kaki ayah yang selalu dikeluhkan capek. Ayah pun mulai mengeluh dadanya sakit. Tak banyak yang bisa kami lakukan saat itu.
Dokter meminta kami untuk terus menjaga kesadaran ayah. Jangan sampai ayah tertidur.
Kami menunggui ayah bergantian sambil memijit kakinya. Ayah pun masih sadar tapi sudah tidak banyak berbicara.

------------------------

Pagi telah menjelang, dokter spesialis jantung pun datang. Ayah langsung dibawa ke ICU dan mendapatkan perawatan di sana. Kami pun menunggu secara bergantian. Ada yang menunggu di ruang tunggu ICU, ada yang membersihkan diri dan mencari sarapan.
Untuk menghilangkan sedikit ketegangan, aku, ibu, dan beberapa keluarga lain mencari sarapan keluar. Banyak warung yang masih tutup, akhirnya kami makan di warung pojok Stasiun Gubeng lama.
Menu yang biasanya cukup cocok di lidahku itu, ternyata tak banyak yang bisa berpindah ke perut. Demikian pula dengan ibu dan keluarga. Akhirnya kami memutuskan kembali ke RS dan memesan beberapa bungkus nasi untuk keluarga yang lain.

Sesampai di RS, dokter belum selesai melakukan observasi. Mbak dari Solo sudah datang. Keluarga dari Bojonegoro pun sudah datang. Semuanya sudah berkumpul. Kami semua hanya mampu berkumpul dalam diam. Berdoa dalam hati masing-masing untuk kesembuhan ayah.

Tiba-tiba....

Panggilan untuk keluarga. Aku, Ais, Risda dan Ibu masuk ke ruang ICU. Dokter dan perawat menjelaskan segala sesuatu tentang kondisi pasien.


''Bapak terkena jantung koroner. Ada dua tindakan yang bisa dilakukan untuk bapak.'' 
Yaitu operasi bypass arteri yang tersumbat (coronary artery bypass surgery) atau dengan pelebaran arteri yang menyempit (coronary angioplasty).

Kemudian penjelasan sudah sangat teknis dan itu menjadi bagian Ais.
Aku dan ibu hanya mampu menahan tangis. Kami kembali harus dihadapkan dua pilihan yang sama ada resikonya. Akhirnya kami keluar untuk berunding.

Kami pun sepakat untuk melakukan operasi pemasangan ring (bypass) di jantung ayah. Biaya operasi yang bagi kami tidak murah itu, juga telah kami diskusikan. Yang terpenting saat ini, ayah segera tertolong dan segera diberi kesembuhan lewat ikhtiar ini.
Ketika kami sudah mantap dengan keputusan itu, sayangnya kondisi ayah justru mulai tidak stabil. Dokter tidak berani mengambil keputusan untuk operasi dengan kondisi seperti ini. Operasi akan dilakukan sesegera mungkin, saat kondisi ayah memungkinkan. “Paling tidak, kita lihat besok. Jika kondisi bapak terus stabil hingga besok, sorenya kita bisa langsung operasi,” kata dokter.

Ketegangan suasana menjadi agak berkurang. Sepanjang lorong di sisi selatan ruang ICU sudah dipenuhi keluarga kami. Keluarga dari Blitar yang lain juga sudah bergabung di Surabaya. Sepanjang hari itu kami terus berdoa. Alunan surat Yasin tak putus kami baca. Aku hanya mampu duduk lemas, mendengarkan lantunan ayat-ayat Al Quran itu.


I   w a n t   a   s h o u l d e r    t o   c r y    o n ..... 

Memy (adik Ais), yang ada didekatku terus menguatkanku.
“Sabar mbak. Pak puh pasti sembuh. Ndungo mbak,” katanya bijak.
“Ayahku Mem, ayahku......” tak kuasa aku meneruskan kata-kata.
Kuluapkan segala perasaan yang bercampur-aduk di dada dalam tangis.
Sungguh aku tak kuasa untuk menahan.

Maaf Ayah, aku menangis.....

-----------------------

Waktu sudah beranjak sore. Tiba-tiba ada panggilan lagi untuk keluarga.
Aku dan ibu sesegera mungkin masuk ke ruang ICU. Ternyata kondisi ayah memburuk. Ayah sudah mulai kesusahan untuk bernafas. Ayah sudah tidak banyak bicara saat itu. Ayah hanya terus bergerak mengeluh capek. Miring ke kiri, ganti miring ke kanan, memegang dadanya, ingin menekuk kaki, dan seterusnya. Hal ini pulalah yang membuatku semakin tidak kuat melihat kondisi ayah.

Suster memutuskan untuk mengikat kaki ayah ke ranjang agar ayah tidak banyak bergerak. Sementara ibu memegangi tangan ayah. Jika terlalu banyak bergerak, dikhawatirkan kondisi ayah makin tidak bagus. Aku benar-benar tidak kuat saat itu.  Akhirnya, ayah dibuat tidak sadar.

Dokter memutuskan untuk memasang ventilator lewat mulut untuk membantu pernafasan ayah. Aku dan ibu pun terus berada di samping ayah selama proses itu. Sungguh tak kuasa melihat proses itu. Tampak sekali ayah kesakitan saat selang dipasang. Aku pun seperti bisa merasakannya.
Air mata terus membanjir, dan aku tidak kuat lagi melihat tubuh ayah sudah tertancapi berbagai alat medis. Selang oksigen, selang makanan, dan peralatan deteksi jantung, nafas, dan seterusnnya.

“Wes kono nang njobo ae. Ojo nangis terus nang kene,” kata ibu dengan tegar. Sempat memijit kaki ayah, mencium kening ayah, memegang tangannya, aku pun memutuskan ke luar.
Aku salut sekali dengan ibu. Dalam kondisi demikian, ibu mampu menahan isak tangisnya. Ibu sangat kuat, seperti ayah yang juga kuat saat itu.
Aku pun berlari keluar ruangan ICU dengan derai air mata.

Sesampai di luar ruangan, semua keluarga langsung menyambutku. Tangisku pun pecah. Mbak Emma, menggantikanku masuk ke ruangan ICU.
Setelah cukup tenang, aku akhirnya bisa bercerita tentang apa yang terjadi di dalam. Semuanya menjadi kembali tegang. Kulihat semua juga tak mampu menyembunyikan kesedihan. Semua menitikkan air mata.
“Wes ayo diterusne ngajine. Kita semua berdoa untuk Kak Oh (sebutan ke ayah),” kata Om Chozin, suami Lek Pip. Beliaupun memimpin membaca surat Yasin kembali.
Aku pun duduk terdiam.

Setelah agak tenang, aku menghubungi rumah.
Ternyata suami dan anak-anak baru saja sampai di rumah Sidoarjo. Mempertimbangkan kesehatan anak-anak, aku bilang ke RS besok saja. Sekarang istirahat di rumah, biar segera pulih kondisinya.

----------------

Senja mulai berganti malam.
Kondisi ayah kembali membaik, dan terus stabil. Kami pun mulai berlega hati. Melihat kondisi ini, kami optimistis besok ayah bisa operasi. 

Persiapan pun segera dilakukan. Aku disarankan untuk pulang Sidoarjo. Melihat kondisi anak-anak, istirahat sekaligus mengambil ganti pakaian. Anak-anak Mbak Emma ikut aku pulang agar bisa istirahat di rumah.
Om Nan dan Lek Pip juga memutuskan untuk pulang Bojonegoro agar juga bisa istirahat. Om Har dan om Zali akan menyusul pulang tengah malam nanti. Ibu, Amik, Mbak Emma dan suami, juga beberapa sepupu yang lain, berjaga di rumah sakit. Intinya, kami berbagi tugas, agar tidak semua kelelahan. Besok kami masih sangat dibutuhkan.

Aku pulang diantar Dafi, sepupuku yang lain. Dafi akan kembali ke RS sambil membawa barang-barang yang akan dibutuhkan keluarga yang menginap di sana. Karpet, bantal dan beberapa alat lain dijejalkan di mobilnya.

2 komentar:

  1. mba...aku ikutan nangis...walau dah lama, turut berduka ya mba...

    BalasHapus
  2. semoga ayah di berikan tepat terbaik di sisi-Nya ya mbak.. turut berduka

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...