Sabtu, 01 September 2012

Aku Pun Bisa Jadi Ratu



Melihat pacar teman kos aku, Oci, memang membuat iri. Sudah ganteng, kaya dan so gentleman. Penampilannya oke, mobilnya bagus, orangnya ramah dan tidak sombong. Yang juga penting, tidak pelit! Setiap datang ngapelin Oci, acapkali dia membawa makanan buat kami –para jomblowati- yang cukup bermalam minggu dengan menonton TV. Apalagi kalau dia habis pulang kampung, pasti satu kardus makanan memenuhi meja makan kos kami. Hmmm.




Belum lagi sikapnya pada Oci. Perasaan sayangnya terlihat jelas. Tak pernah sekalipun kami melihat Oci naik turun mobil tanpa dibukakan pintu. Saat kami berkesempatan pergi bersama, Oci sangat dijaganya. Jalan digandeng, naik tangga dipegangin, sepertinya dia takut ‘porselen’nya akan pecah. Demikian juga saat acara makan. Oci hanya diam duduk, dan dia yang sibuk memesan makanan, sekaligus membayarnya! Duh, bagaimana kami tidak iri. Rasanya itulah impian setiap wanita, menjadi ratu.




Meski sangat ingin, aku tidak berani berharap seperti Oci. Rasanya hanya sebuah mimpi jika bisa menggaet pria seperti pacarnya itu. Tak ada modal sama sekali. Cantik tidak, pintar juga nggak, kaya apalagi. Namun ternyata, semuanya memang tidak bisa diduga. Kesempatan menjadi ratu, akhirnya datang juga.


Kami mempunyai tetangga kos yang sering ngobrol bersama, bahkan tak jarang pergi rame-rame. Ganteng? Sudah pasti. Dengan darah campuran Indo-Belanda, wajahnya sejajar dengan artis sinetron. Kaya? Ya iya lah, bapaknya termasuk orang kaya dan cukup berpengaruh di kota ini. Hanya satu yang membuat dia ini tidak menjadi incaran para jomblowati di kos kami. Sikapnya yang playboy, membuat dia cukup dijadikan teman saja.

Namun siapa kira, jika tiba-tiba di suatu waktu dia menyatakan perasaannya padaku. Ah, seperti lelucon saja. Melihat cewek-ceweknya dulu yang cantik-cantik membuat aku tertawa ngakak saat itu. Bagaimana mungkin aku –si buruk rupa, ah nggak juga lah- menjadi sasaran berikutnya? ‘’Terserahlah. Tapi memang itu perasaan jujurku. Aku bosan dengan perempuan-perempuan cantik yang hanya melihatku dari tampang dan isi dompetku saja. Aku suka kamu yang apa adanya dan nyambung kalau ngobrol,’’ katanya. Tipuan nomor satu si playboy nih.

Singkat kata, aku pun terpesona. Beberapa kali keluar berdua dengannya, aku bisa melihat 'sesuatu' yang lain padanya. Meski aku belum menjawab, dia selalu memperkenalkan aku sebagai pacarnya. Dan rupanya, akupun tak keberatan, karena aku tidak juga menyangkalnya. Bahkan ada sebersit kebanggaan yang kurasakan ketika berjalan dengannya.

Waktu berlalu, dan aku merasakan apa yang Oci rasakan. Naik turun mobil bagus sudah ada yang membukakan pintu. Makan sudah ada yang memesan sekaligus membayarnya. Tak jarang tiba-tiba dia mengajakku ke toko dan membelikan aku ini-itu. Wah rasanya impianku benar-benar terkabul menjadi ratu. Tapi ternyata, aku tidak bahagia. Aku merasakan, ada yang hilang dalam hidupku. Aku seperti boneka saja. Aku tak lagi bisa mempunyai keinginan karena semua telah disediakannya. Aku tak bisa melakukan apa yang kumau karena semuanya harus seperti apa maunya. Aku bukanlah aku.

Akhirnya pada suatu waktu, setelah kami berjalan bersama hampir selama satu tahun. ''Aku pun harus jujur padamu tentang perasaanku. Ternyata aku tak bisa menikmati saat-saat bersamamu lebih lama lagi. Lebih baik kita seperti dulu, cukup berteman.'' Olala, aku seperti Cinderella yang harus pulang ketika bel sudah berbunyi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...