Jumat, 23 Januari 2009

Seandainya Ada Ganti Untung


Pembangunan fasilitas publik di negara ini, kerapkali berbenturan dengan masalah pembebasan lahan. Mulai pelebaran jalan, pembangunan pasar, terminal, sekolah, dan sebagainya. Begitu padatnya permukiman di Jawa, khususnya, menyulitkan untuk mencari lahan yang luas guna tujuan-tujuan di atas. Tak pelak, cara menggusur rumah warga atau bangunan lain, menjadi pilihan.




Persoalan muncul ketika sebagian warga menolak pembebasan lahan itu. Dan ini pasti ada satu-dua dan bahkan lebih setiap ada pembangunan. Lantas di mana letak kesalahannya? Sebagian besar mereka menolak karena ganti rugi yang dibayarkan pemerintah dianggap tidak memadai. Kebanyakan ganti rugi yang ditawarkan memang sebatas nilai yang dipatok dalam NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak). Kalaupun lebih, lebihnya sangat sedikit, masih cukup jauh dari harga pasaran yang berlaku.

Bagaimana menyelesaikan persoalan ini? Seandainya nama pembebasan itu bukan ganti rugi, tapi ganti untung, tentu kenyataan bakal berbeda. Lahan itu diambil alih dengan penghitungan sesuai harga pasar, atau bahkan lebih, plus kompensasi atas kerepotan pemilik yang harus pindah. Pasti opsi ini bakal diterima suka cita. Bahkan yang tidak terkena proyek pun bisa-bisa minta dibeli juga lahannya. Lumayan, dapat rezeki nomplok.

Alhasil, proses pembebasan bisa dengan damai dan cepat. Proyek pembangunan pun tak berlarut-larut tanpa kepastian. Masyarakat juga bisa segera menikmati hasilnya. Persoalannya saat ini, anggaran pembangunan untuk pembebasan lahan itu biasanya tidak besar. Kalaupun besar, masih sering disunat sana-sini. Akhirnya, persoalan seperti ini memang tak pernah tuntas. Tapi, apakah bakal terjadi seperti ini terus setiap akan ada proyek pembangunan?


* tulisan ini sudah dimuat di harian Jatim Mandiri 2009 (lupa persisnya, tdk diarsip)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...