Jumat, 28 September 2012

Aku Pulang Ayah!

Hari ini, tiga tahun yang lalu...
28 Sept 2009

Beep beep. Bunyi sms masuk. Amik.
Satu-satunya adikku yang tinggal di Malang, mengabari kalau ayah masuk ICU Rumah Sakit Aminah, Blitar, tadi siang. Tidak dijelaskan apa penyebabnya dan bagaimana kondisinya.
Jleg. Dadaku sesaat serasa berhenti berdegup.
Tak buang waktu, aku segera menghubungi ponselnya. Tak banyak yang bisa dikatakan, Amik sedang dalam perjalanan pulang ke Blitar.
Aku segera menghubungi ponsel ibu di Blitar. “Ndak papa. Tadi pingsan selesai pidato di acara Halal bi Halal Depag. Sekarang masih di ICU, sudah sadar. Terserah, mau ke sini sekarang bisa. Kalau repot ya besok ndak papa. Nanti tak kabari perkembangannya.”

Jawaban ibu cukup bijak, agar anak yang di perantauan ini tidak begitu gelisah. Apalagi saat itu memang ibu belum memperoleh keterangan jelas, apa penyebab ayah pingsan, dan bagaimana perkembangan kondisi beliau.
Permintaan ibu untuk tidak langsung pulang ke Blitar memang cukup masuk akal. Saat itu, meski masih harus dirawat di ICU, kondisi ayah memang cukup baik. Sadar dan bisa berbicara. Bahkan belakangan aku tau, ayah sempat meminta ibu pulang ke rumah, karena di rumah memang sedang repot mempersiapkan acara halal bi halal untuk keesokan harinya.

***
Suasana lebaran masih sangat terasa. Bahkan hari itu, seingatku baru dua hari aku pulang ke Sidoarjo, setelah hampir satu minggu mudik di kampung halaman. Itu pula yang membuat ibu tidak memintaku untuk langsung pulang.
“Nanti saja tunggu perkembangan selanjutnya. Nanti tak kabari,” ulang ibu, saat aku kebingungan harus pulang sekarang, atau tunggu nanti malam sepulang kantor suami.
Agaknya ibu cukup mafhum juga, dengan kondisiku saat itu, dengan ketiga anakku yang masih kecil-kecil, tanpa ada asisten rumah tangga aka pembantu, dan tanpa ada mobil (barusan dijual sebelum lebaran, dan belum dapat gantinya).
***

Namun sore itu hatiku benar-benar galau. Jawaban ibu justru membuatku makin bingung. Tentu saat itu amat sangat aku segera ada di rumah sakit, melihat kondisi ayah tercinta.
Bisa dikatakan, sepanjang ingatanku ayah tidak pernah harus ke rumah sakit. Apalagi menginap di rumah sakit. Bahkan berobat pun, ayah hanya memilih ke dokter umum langganan dekat rumah.
Jadi jika saat ini ayah terbaring di ICU, jelas membuat hatiku hancur tak menentu.

Suami yang saat itu sudah siap berangkat ke kantor, akhirnya juga duduk membisu. Shock.
Aku pun segera menghubungi ponsel keluarga lain yang ada di Blitar. Jawabannya sama dengan yang diberikan ibu.
Saat itu memang belum ada titik terang bagaimana kondisi ayah. Aku juga menelepon kakak perempuanku, mbak Emma, yang ada di Solo. Ternyata, dia juga bingung.
“Aku juga bingung dik. Mungkin besok pagi aja aku naik bisa sama Fio (anak bungsunya). Mas Ekko (suaminya) nggak mungkin kalau mau cuti lagi,” katanya bergetar.
Aku sangat memahami kondisi mbakku. Pasti sama juga dengan apa yang aku rasakan.

“Pi, coba telpon teman di kantor. Mungkin nggak libur malam ini. Antar aku pulang. Aku ingin pulang,” kataku dengan mata yang mulai memerah menahan tangis. Suami kelihatan sibuk menelpon sana-sini. Aku pun segera menelpon rental mobil yang kemarin kusewa saat mudik lebaran.
“Maaf bu, mobilnya masih di luar semua.” Aku langsung lemas.
“Kapan kembalinya pak?”
“Besok sore baru ada. Tapi kalau ibu mau, ini ada Avanza baru yang bisa dipakai. Tapi belum ada suratnya. Kami bisa memberi surat pengantar kok.’’
“Ya sebentar pak, saya tanya suami.”

Saat suami mengatakan bisa libur hari itu, saya langsung menelpon kembali rental mobil. “Tolong diantar ke rumah sekarang ya pak. Saya mau ke Blitar lagi.”
Secepat kilat saya pun menyusun koper lagi, yang baru kemarin saya bongkar isinya. Baju, susu, diapers, popok dan perbangkelan segudang, mendadak sudah siap di teras.
Mobil datang, suami segera memasukkan tas-tas ke mobil. Aku segera menyiapkan anak-anak untuk melakukan perjalanan panjang kembali.

Di perjalanan anak-anak tidak bisa tidur. Zico (yang memang agak mabukan) sudah mulai mengeluh pusing dan ingin muntah. Aku pun sebenarnya juga pusing. Mobil baru ini masih bau plastik! Seluruh joknya memang masih terbungkus plastik. Alhasil, baru sampai Porong, Zico pun dengan sukses mengeluarkan isi perutnya. Sepanjang perjalanan ke Blitar pun, terpaksa sering berhenti di jalan.

----------------------

Pukul 10 lewat kami baru sampai di rumah sakit. Anak-anak tidur semua. Maunya kutinggal di mobil, untuk segera diantar pulang ke rumah. Tapi begitu mesin mobil mati, semua pada bangun. Akhirnya dengan menggendong dua anak, aku tergopoh-gopoh mencari ruang ICU. Kedatangan kami disambut Om Nan (adik ayah). “Wes nduk gak popo. Saiki mrono gantian, anak-anak biar di sini saja,” katanya menenangkan.

Mengintip dari jendela kamar ICU ayah sedang tidak tidur. Terlihat berbincang dengan Lek Pip (adik perempuan ayah satu-satunya). Aku pun masuk kamar. Mencium tangan ayah, pipi kiri dan kanan, tanpa mampu menahan air mata. “Laopo muleh barang nduk? Ayah gak popo. Karo sopo? Oki? Mrei meneh? Anak-anak yo mbok ajak kabeh?” Saat itu ayah masih mampu berbicara dengan jelas. Sama sekali tidak terlihat kepayahan. Selang infus dan beberapa peralatan medis lain kulihat menempel di badannya.

Aku hanya mampu menjawab pertanyaan ayah dengan anggukan. “Sakno anak-anak. Mengko kekeselen mbok ajak riwa-riwi. Ibukmu ki kok nelpon Bojonegoro mbarang. Kabeh marai mrene, ndak ngrepotne,” ayah masih bisa berbicara lancar dan berfikir logis. Aku tak bisa berkata-kata.
“Apanya yang sakit yah?”
“Iki lo kesel kabeh rasane. Mau wes dipijeti Mbak Solik (tetangga) ambek bulekmu.”
Selimut ayah pun kurapikan dan kupijit pelan kedua kakinya.

Tak berapa lama akhirnya aku keluar kamar, dan berbincang dengan Om Nan dan keluarga lain yang ada. Kami berbicara kronologis ayah saat pingsan dan bagaimana perkembangan saat ini.
Rupanya ayah kena serangan jantung. Ini baru pertama kalinya ayah terkena serangan. Sebelumnya tidak ada riwayat sama sekali. Ayah ‘hanya’ mempunyai penyakit diabetes yang menurutku tidak seberapa parah. Diabetesnya tidak sampai membuat ayah hilir mudik ke rumah sakit.
Jika kondisi badan ayah mulai lemas, tanda kadar gulanya meninggi, ayah cukup beristirahat, dan minta obat ke dokter langganan. Beberapa hari kemudian ayah sudah sehat kembali dan beraktifitas seperti biasa.

Kulihat tidak ada aktifitas berarti yang dilakukan petugas medis untuk ayah. Semuanya terlihat tenang seolah mengisyaratkan ayah telah membaik. Keluarga yang berjaga di luar pun hanya bisa diam menunggu.
“Saiki tinggal nunggu analisis dokter. Dokternya masih belum ada. Dik Ais (sepupuku, putra Om Nan, yang kebetulan dokter) juga sedang menghubungi dosen-dosennya untuk meminta pertimbangan kondisi ayah. Saiki kamu pulang aja ke rumah, biar anak-anak bisa segera istirahat.”
Aku pun menuruti kata om, dan berpamitan pada ayah.
“Iyo muleh disik. Ayah gak popo. Ono bulek,” ayah pun menegaskan kalau beliau baik-baik saja.

Sedikit tenang aku pun pulang ke rumah, yang jaraknya sekitar 20 menit dari rumah sakit.
Ada om, bulek dan adik yang menjaga di rumah sakit. Mengeluarkan tas dari mobil, membersihkan anak-anak, membuat susu, dan siap ngeloni mereka di kamar.
Tiba-tiba telpon rumah berbunyi.
“Mbak, mreneo. Dokternya sudah datang. Mau bicara,” telpon adikku singkat.

Aku langsung merasa ada yang tidak beres. Tanpa pikir panjang aku menyusul ke rumah sakit, dan langsung meninggalkan anak-anak yang belum tidur. Mereka ditemani papinya.
Sesampai di rumah sakit, semua keluarga sudah di ruang dokter. Ibu, adik, om dan bulek.

“Kondisi bapak terus memburuk. Harus segera dilakukan tindakan. Ada dua opsi yang bisa dilakukan, dan semuanya beresiko besar. Bisa dengan operasi jantung, tapi harus dilakukan di Surabaya. Kondisi bapak sebenarnya tidak cukup bagus untuk dibawa ke Surabaya, tapi masih mungkin dilakukan. Jadi resiko terburuk sangat mungkin terjadi di jalan,” jelas dokter.

“Jika tetap di sini, kami hanya bisa melakukan yang terbaik. Kami tidak bisa melakukan operasi karena keterbatasan alat,” imbuh dokter.
“Sekarang tinggal terserah pada keluarga, bagaimana yang terbaik yang ingin dilakukan.”

Sesaat semua hanya mampu terdiam. Kulihat ibu cukup tegar, tak sampai berderai air mata. Aku pun hanya mampu terhenyak. Shock. Tidak mengira bakal terjadi demikian.
Tadinya kondisi ayah sepertinya membaik. Padahal sebenarnya sudah parah.


Akhirnya aku tau, ayah adalah orang yang sangat kuat. Bahkan di saat seperti ini pun, yang mungkin ayah sudah mulai kesakitan, ayah hanya merasakan capek-capek di badan dan mual.

Beberapa saat kami berdiskusi dengan dokter bagaimana kondisi ayah dan apa yang paling baik yang harus dilakukan. Akhirnya kami memutuskan untuk membawa ayah ke Surabaya, dengan segala resikonya. Kami pun sibuk menyiapkan keberangkatan ayah.
Diputuskan, Ais, adikku yang dokter, ibu dan Lek Pip, akan mendampingi ayah di ambulans. Yang lain mengikuti di belakang dengan mobil.


Aku pun akhirnya lemas.
Terduduk di trotoar luar rumah sakit.
Jam menunjukkan sekitar pukul 1 malam.
Blitar sangat sepi.
Dan dingin.
Berdua bersama Amik di trotoar itu, akhirnya aku bisa menangis.
Air mata terus berurai tak terbendung.


Sementara yang lain sibuk berkoordinasi dengan pihak rumah sakit, aku tak bisa melakukan apapun. Hanya diam menangis. 

“Aku tidak boleh seperti ini. Aku harus kuat. Ayah saja kuat. Ibu kuat. Aku harus lebih kuat,” kataku dalam hati.
Aku pun segera menghubungi suami untuk mengabarkan hal ini. Mbak yang di Solo pun segera kutelpon.
“Kondisi ayah tidak menggembirakan. Mau dibawa ke Surabaya sekarang. Sampean harus segera menyusul. Tidak usah menunggu besok, sekarang harus berangkat. Naik pesawat saja biar cepat.”

Setelah ambulans siap, aku pulang ke rumah, bersiap kembali ke Surabaya. Aku dan Amik ikut di mobil Om Nan, dan memutuskan mencari sopir. Rasanya, kami semua tidak sanggup jika harus menyetir sendiri ke Surabaya. Untung saja ada sopir yang bisa dihubungi di dini hari itu.
Sementara suami dan dan anak-anak berangkat menyusul besok pagi, biar cukup beristirahat sejenak. Sangat tidak mungkin mengajak Zico bermobil dengan kondisi teler berat saat itu. Terima kasih sekali pada suami yang harus rela menjaga tiga anak balita dengan kondisi yang kurang sehat.

-----------------------

Aku pun berangkat dengan hati yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Semuanya hanya mampu diam di mobil.
“Wes ndang bobok sek ndok, le. Besok hari masih panjang. Harus istirahat agar besok bisa fresh, bisa ngurus bapak,” kata Om Nan memecah kebekuan.
“Memang susah untuk tidur. Om pun juga tidak bisa. Tapi harus dipaksa.”
Sepanjang perjalanan tak satu pun dari kami yang bisa terlelap. Tertidur sebentar, tergeragap bangun. Kemudian sibuk sms-an dengan dik Ais yang ikut di ambulans.
Sms dengan mbak bagaimana kondisinya.
“Nggak ada pesawat lah malem-malem. Adanya ya besok pagi.”
“Terus gimana.”
“Ya udah ini mau berangkat naik mobil. Mungkin malah bisa lebih cepet karena besok pagi sampai. Semua anak ikut.” Perasaan lega sedikit mengalir. Keluarga mbak diberi jalan untuk bisa ke Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...