Selasa, 27 November 2012

Cerdas Belanja ala Saya




Tulisan ini telah dimuat di harian Jawa Pos, edisi 12 Oktober 2012. Di rubrik Perempuan Bercertita, halaman For Her.  





---------------------------------------------------------------------
Bagi ibu rumah tangga, yang kebanyakan menjabat sebagai menteri keuangan keluarga, urusan belanja seringkali menjadi hal yang amat memusingkan.
Bagaimana mencari titik keseimbangan antara kebutuhan yang tiada habisnya dengan jumlah uang yang dipunyai untuk memenuhi kebutuhan itu, kerap membuat ibu-ibu galau.
Kasus ‘besar pasak dari pada tiang’ sering terdengar. Begitu pula dengan istilah ‘gali lubang tutup lubang’ dan akhirnya terkubur dalam lubang beneran, menjadi tidak asing lagi.


Banyak nasihat para pakar perencana keuangan berhamburan demi menyelamatkan ibu-ibu dari ambang kebangkrutan. Mulai dari membagi uang penghasilan dalam banyak amplop sesuai pos pengeluaran, hingga harus fokus dalam belanja.
"Catat apa kebutuhan kita dan fokus membeli pada apa yang ada dalam daftar itu saja. Jangan sekali-kali melewati aisle yang memajang barang yang tidak kita butuhkan, apalagi tergiur tawaran diskon atau rayuan si mbak-mbak SPG yang menawarkan produk baru." 
Apa yang dikatakan mereka itu sudah pasti benar. Jika kita bisa menjalankan semua nasihat itu, maka selamatlah anggaran belanja rumah tangga. Tapi menurut saya, menjalankan itu semua membuat hidup jadi kurang berwarna. Hal itu akan menjadi rutinitas yang membosankan.
Dan saya yakin, sedikit yang bisa konsisten menerapkan hal itu.
gambar ini diambil dari sini ya
Untuk menyiasati tersebut, saya punya cara sendiri.
Cara ini sangat cocok dengan saya yang suka belanja, yang masih suka terbawa arus mengikuti tren, namun berpenghasilan pas-pasan untuk memenuhi itu semua. Tentu saja cara ini belum tentu cocok bagi Anda yang tidak berkarakter sama dengan saya.
Saya lebih memilih bersikap cerdas, menurut saya, dalam menyiasati keinginan yang tiada habisnya dengan kemampuan isi kantong yang terbatas.
Belanja kebutuhan sehari-hari misalnya. Saya harus tahu di mana membeli bahan kebutuhan A yang paling ekonomis. Apa di pasar tradisional, pedagang sayur keliling atau di toko modern. Bisa memperoleh barang termurah adalah hemat ala saya. Itu, juga menjadi kepuasan tersendiri bagi saya. 
Aktifitas belanja, baik di pasar tradisional, minimarket, atau pun hipermarket, amat menyenangkan bagi saya. Melihat-lihat produk baru, mencicipi jenis makanan baru, memborong ini-itu, menjadi obat stres tersendiri. Paling tidak, dalam satu bulan, saya bisa mengunjungi hipermarket dua-tiga kali. Bahkan bisa pula dalam satu hari mampir di dua toko yang berbeda.
gambarnya nyomot dari sini ya
Apa argumen saya? 
Pertama, mengunjungi pertokoan seperti ini, bisa memuaskan kesenangan saya belanja. Saya bisa menyalurkan hasrat berbelanja sesuka hati tanpa membuat kantong jebol. Tentu saja saya menjaga betul agar tidak tergoda membeli barang yang benar-benar tidak saya butuhkan. Saya hanya membeli barang kebutuhan sehari-hari yang memang harus dibeli dan beberapa barang yang kelak pasti akan saya butuhkan. Untungnya saya bukan lah orang yang fanatik pada merek. 
Saya cukup fleksibel pada beberapa merek untuk hampir di semua jenis barang. Jadi aktifitas melihat-lihat barang, membandingkan harga, memanfaatkan promo produk baru justru mendukung kegiatan belanja hemat saya. Namun itu bukan berarti tiap belanja saya membutuhkan waktu berjam-jam untuk sekedar melihat-lihat. 
Jumat pagi, termasuk hari yang saya tunggu. Begitu koran pagi datang, saya segera membuka halaman-halaman yang memuat promosi diskon beberapa hipermarket yang saling bersaing. Saya jadi tau, ke mana saya harus belanja kali ini untuk mendapatkan barang dengan harga miring. Jadi bila tidak ada acara khusus, saya bisa menghabiskan akhir pekan dengan pergi ke mal, sekaligus berbelanja.
Bila dua toko berbeda menawarkan promosi sama menariknya, maka bisa jadi saya mengunjungi keduanya dalam satu akhir pekan. Untungnya tempat tinggal saya cukup dekat dengan toko-toko itu, jadi ongkos transpor tidak terlalu menjadi masalah. Bila tidak ada diskon yang menarik, tidak menjadi masalah, toh saya selalu mempunyai stok untuk berbagai keperluan rumah tangga ini.
Saya memang tidak mengharamkan membeli barang yang sebenarnya masih ada persediaan di rumah. Jika memang barang itu pasti akan saya pakai, selagi diskon mengapa tidak membelinya? Tentu saja tidak serta merta barang yang didiskon saya beli. Barang merek A yang tidak biasa saya pakai dan saya tidak tertarik untuk mencobanya, atau saya tidak membutuhkan jenis barang itu, meski didiskon 90% persen pun saya tidak membelinya!
Maka, dengan selalu ada stok di rumah, setiap saat saya mempunyai persediaan barang murah.
Ini pun masih ada keuntungan lain.
Yakni jika sewaktu-waktu saya harus membawa oleh-oleh atau akan memberi kado pada undangan acara yang mendadak, saya tidak perlu kerepotan pergi ke toko untuk membelinya. Saya tinggal pilih mana yang cocok, dan tentu saja harganya tetap murah.
Dengan cara seperti ini, sepertinya saya tidak bisa mengontrol pengeluaran rutin bulanan saya? Tidak juga. Saya sudah membuktikan ternyata angka pengeluaran saya tetap pada kisaran yang sama rata-rata per bulannya. Jika bulan ini agak lebih karena banyak barang yang menarik dibeli, bulan berikutnya lebih sering jumlah pengeluaran turun. Karena tentu saja saya tidak bisa menumpuk barang dalam jumlah terlalu banyak, mengingat masa expirednya dan cadangan keuangan tentu saja.  
Membaca ini, kesannya hari-hari saya selalu diisi dengan belanja dan berburu barang murah? O tentu tidak. Aktifitas belanja ini bukan hal yang utama. Ini hanyalah rider dari acara akhir pekan dengan keluarga. Lazimnya keluarga di perkotaan, seringkali kami menghabiskan hari libur dengan pergi ke mal. Bukan memupuk sikap konsumerisme pada anak-anak, tapi ini lebih sikap kompromi akan kebutuhan rekreasi dan kemampuan keuangan.
Menurut saya, pergi ke mal adalah sarana rekreasi yang termurah namun nyaman. Murah bagi saya, artinya tidak perlu membayar ongkos masuk, cukup biaya parkir. Murah karena saya bisa sekalian belanja barang kebutuhan yang sesuai dengan kemampuan. 
Mengutip banyak iklan, nah ini cara saya, bagaimana dengan Anda?   

10 komentar:

  1. waaah... ternyata tulisan mbak pernah nongol di japos ya...hebat! selamat mba, inspiratif banget. btw, aku juga dah kirim ke rubrik ini, tapi kayaknya gak dimuat deh. gpp, cari cerita lagi hihihi

    BalasHapus
  2. Kereeeeennn deh artikelnya Mbak, memang layak di muat di Jawa Pos...siip tenan !

    BalasHapus
  3. ayo mbak nunung, mbak lies, cepetan kirim ya. pasti lebih keren

    BalasHapus
  4. Samaaaa... saya juga gitu cara belanjanyaa ^^

    BalasHapus
  5. waaahhh tipsnya keren.

    bagus ni...antisipasi biar dompet nggak jebol gara2 belanja yang over. hihihiih.

    BalasHapus
  6. semoga saya bisa mengikuti jejak Mbak Isa bisa tembus media.
    tulisannya memang mengena buat ibu2 dan bermanfaat sekali mbak

    BalasHapus
  7. HEBAT mbak :)
    masuk harian jawa pos .. Saya juga pengen :3

    Tapi setuju banget nih mbak sama postingan mbak yang ini, nafsu belanja memang harus dikendalikan secara cerdas, pun harus selektif :)

    Pelajar-pelajar gini juga mikir keuangan lo mbak (akibat minimnya anggaran, belum bisa cari uang sendiri juga) hihih :D

    BalasHapus
  8. keren mbak...inspiratif...bagi2 tips dong bisa jebol jawa pos ? he2 sapa tau saya bisa ngikuti jejakmu :)

    BalasHapus

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...